Akhir Desember 2019 ponakan saya beranama Adi dengan penuh semangat menyampaikan, Bunda: “Aisyiyah berniat membangun Perguruan Tinggi”. Bagi saya informasi tersebut, tidak terlalu berkesan sehingga ketika mendengarnya saya hanya diam, tanpa ketertarikan sedikitpun. Bahkan sempat saya menduga, kalo ponakan saya itu lagi “ngigau”, karena yang saya tahu perguruan Aisyiyah  itu hanya setingkat TK. Yaitu sekolah bagi anak-anak yang memang merupakan domain ibu-ibu. Berselang sepekan saya disampaikan oleh kerabat  saya yang juga aktif dikepengurusan Aisyiyah, bahwa kemarin mereka pengajian, lantas Ustadz penceramahnya mendorong Aisyiyah untuk membangun perguruan tinggi. Katanya Aisyiyah harus membuktikan diri sebagai perempuan berkemajuan. Aisyiyah kata Ustadz sejatinya tidak hanya diposisikan sebagai seksi komsumsi ketika ada gawean karena dipandang sebagai ahli masak-memasak dan sejenis urusan dapur lainnya, ngurusin anak di rumah dan juga ngurus sekolahannya anak-anak. Kini saatnya membuktikan kepada khalayak bahwa Aisyiyah bukan perempuan biasa. Pikirannya maju, dan itu hanya akan terbukti jika kelak Aisyiyah memiliki perguruan tinggi.

Jujur awalnya saya sedikit kesal dengan model ceramah Ustadz yang disebut oleh kerabat saya tersebut. Pendekatannya doktriner banget, sedikit memaksa tanpa melihat kemampuan dan beban ibu-ibu. Saya sedikit mendongkol, karena Ustadznya mengukur kemajuan perempuan kalo bisa mengelola perguruan tinggi. Pikiran saya itu kemudian berlalu dan saya kembali mengurs aktivitas kantor yang menjadi rutinitas keseharian saya. Hari berganti, dan pada pamuncak 2019, negeri tercinta dilanda wabah COVID19 sehingga setiap orang sibuk  menjaga diri dan keluarganya agar tidak terjangkit oleh wabah mematikan tersebut. Secara tidak terduga Juni 2022 atau berselang tiga tahun setelah diskusi tentang materi ceramah Ustadz yang mendorong-dorong ibu-ibu Aisyiyah membuat perguruan tinggi, di meja kerja saya tampak sebuah undangan dengan logo Aisyiyah. Sayapun membukanya, “mengejutkan” karena undangan itu berisi harapan untuk menghadiri  peresmian atau “lounching”, Perguruan Tinggi Aisyiyah yang mereka namakan ISTEK (Institut Sains Teknologi dan Ilmu Kesehatan) Aisyiyah. Tidak tanggung-tanggung, Asyiyah “nekat” mengundang Prof. Haedar Ketua PP Muhammadiyah bersama Isterinya Dr. Nor Jannah Johantini yang juga sebagai Ketua PP. Aisyiyah.

Membaca undangan tersebut saya terdiam, menghela nafas, apakah yang saya baca ini betul atau saya lagi sedang “ngigau” sebagaimana “tuduhan” saya kepada Adi ponakan saya 3 tahun sebelumnya. Saya membaca undangan tersebut berulang dengan seksama. Saya tidak lagi sedang “ngigau”, tampaknya asumsi saya “takluk” oleh “doktrin” Ustadz yang mendorong Ibu-Ibu Aisyiyah untuk maju dengan perguruan tinggi. Seketika saya teringat, pelajaran saya di pondok Muhammadiyah 30 tahun lalu. Guru saya seringkali mengatakan kepada kami, “berpikirlah untuk menjadi besar karena Tuhan bersama cara berpikir hambaNya”.  

Kini Aisyiyah merayakan  Miladnya  yang ke 108, Alhamdulillah, dengan usia yang tidak muda lagi Aisyiyah tetap berkiprah, menabur kebaikan di tengah masyarakat. Jika sebelumnya deret amal-usaha yang ditampilkan masih sebatas TK dan SD Aisyiyah, kini Aisyiyah Sulawesi Tenggara juga dapat menampilkan perguruan tinggi miliknya. ISTEK yang 3 tahun lalu masih berupa mimpi kini menjadi actual dalam ruang public.  Memang kini, ISTEK masih tumbuh sebagai bayi tetapi dengan etos kerja yang tangguh pantang menyerah, tidak salah jika saya mengatakan dua atau pada usianya yang ke lima besok, tulissan ISTEK yang setiap pagi dan sore hari menghiasi pandangan mataku, sangat mungkin tidak lagi tampak. ISTEK tinggal menjadi kenangan dan bukti kerja keras dari lentik tangan lembut ibu-ibu Aisyiyah. Jangan salah sangka dengan narasi saya di atas. Saya  sama sekali tidak bermaksud membenamkan ISTEK dalam fosil sejarah perabadan Sulawesi-Tenggara. Yang saya maksud, bahwa sangat boleh jadi pada usianya yang kelima ISTEK telah akan berubah nama menjadi UNISA (Universitas Aisyiyah) Kendari.

Memimpikan ISTEK berganti nama menjadi UNISA sejatinya menjadi keniscayaan yang tertanan dalam benak pikiran komunitas Aisyiyah. Saya yakin seyakin yakinnya, Aisyiyah Sulawesi Tenggara telah merencanakan mimpi kedua yaitu rancang bangun ISTEK sebagai universitas. Mengapa saya sedemikian yakin, jawabnya singkat. karena Aisyiyah adalah perempuan berkemajuan. Karakter ini telah mendarah daging dalam cara berpikir dan bertindak Aisyiyah. Yang perlu dicatat adalah, bahwa sekalipun kelompok tersebut telah menkonstruksi niat, namun “kurangnya” karena Aisyiyah tidak terbiasa untuk “mendengunkan”  rencananya di ruang public. Lazimnya, Aisyiyah memilih untuk meniti dan bergerak dalam sunyi hingga masanya tiba dengan bunyi yang merdu. Selamat Milad 108, semoga mimpi-mimpi positif Aisyiyah Sulawesi-Tenggara untuk kebaikan masyarakat semakin banyak yang teraktualisasi. Aamiin.

Oleh: Nur Hikmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *