Salah satu kontroversi yang belum tuntas dalam kasus kriminalisasi Ibu guru Supriayani adalah dugaan “pemerasan” atau permintaan uang damai oleh oknum aparat terhadap Supriyani. Problem ini mencuat, ketika koalisi masyarakat sipil pengawal kasus kriminalisasi Supriyani mengungkapkan temuannya. Bahwa penyebab kasus ini berlanjut hingga ke pengadilan, karena terduga Supriyani tidak bersedia memenuhi keinginan oknum aparat. Yaitu memberi uang damai sebesar lima puluh juta rupiah. Tempo menyebutkan hal yang sama, bahwa jalan damai sebelumnya sempat ditempuh dengan mendatangkan sejumlah pihak termasuk pemerintah setempat untuk mediasi. Pada saat mediasi pihak Suryani diminta membayar denda  Rp 50 juta. Namun, pihak sekolah hanya menyanggupi Rp 10 juta, karena tidak menemui jalan damai akhirnya kasus hukum Supriyani dilanjutkan dan ia langsung ditahan. Pihak kepolisian juga meningkatkan status ke penyidikan, serta melimpahkan kasus tersebut kepada pihak kejaksaan atau P21. Dugaan miring yang menyasar oknum aparat Kepolisian, bagai petir yang menyambar marwah institusi Kepolisian, karenanya pihak POLDA secara khusus mengeluarkan pers rilis yang disampaikan Kombes Pol. Iis Kristian, yang intinya dugaan tersebut tidak benar atau HOAX.

Pada sisi lain koalisi masyarakat sipil yang mengawal kasus ini, berkeras dan bersisi kukuh bahkan sampai pada tingkat haqqul yaqin, bahwa permintaan uang damai tersebut benar adanya. Sebagaimana alasan Polisi yang telah memeriksa anggotanya, masyarakatpun menyandarkan dugaannya atas sejumlah bukti-bukti lapangan yang mereka peroleh, khususnya kesaksian Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman, yang pada waktu itu berusaha memediasi kasus Supriyani . Silang pendapat antara pendukung Supriyani dengan pihak Kepolisian tampaknya masih terus berlangsung sehingga masyarakat akan disuguhkan tontonan menarik, yaitu adu kuat argument antara koalisi masyarakat pendukung Supriani versus Polisi.

Jika tawaran damai tetap tidak diterima oleh para pengawal kasus, maka pengadilan akan menjadi tempat berlabuh terakhir dari kasus dugaan pemerasan atas problem tersebut. Bila saja itu terjadi, maka sejatinya para saksi dari kalangan masyarakat sesegara mungkin diberi pendampingan dan perlindungan saksi. Pandangan tersebut bukan tanpa alasan, mengingat dalam kasus-kasus konflik vertical, dimana masyarakat berhadapan dengan oknum aparat hukum, maka para saksi kadang kala terganggu atau mengalami kegoncangan psikologis. Oleh karena itu, selain penguatan bukti-bukti lapangan, maka penguatan mental saksi, baik oleh lawyer, psikolog maupun oleh Komisi Perlindungan Saksi penting dipertimbangkan.

Bahwa masing-masing pihak bersikukuh dengan pandangannya adalah hal yang perlu diapresiasi. Polisi sebagai aparat hukum sebagaimana masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan marwah institusinya dari dugaan tuduhan “miring” terhadap anggotanya, sehingga dalam kontestasi ini masyarakat dituntut untuk melakukan pencermatan dalam arti tidak tergesa-gesa dalam memberi stigma negative terhadap salah satu pihak. Sayangnya dalam setiap kasus konflik vertical semisal kasus Supriyani, nalar dan logika masyarakat telah melangkah lebih jauh sebelum ada putusan pengadilan.

Nalar dan logika masyarakat acapkali dipengaruhi oleh pengalaman empiris dari sejumlah rentetan kejadian yang pernah tercatat dalam sejarah. Sejarah kelam penegakan hukum di negeri ini seolah menjadi referensi baku bagi masyarakat untuk dijadikan sandaran logis bahwa Indonesia tidak equivalen dengan penegakan hukum yang berkeadilan. Mimpi indah masyarakat Indonesia untuk hidup damai dibawa jaminan dan penegakan hukum berkeadilan, tampaknya telah lama dikubur. Yang mengejawantah dalam benak kebanyakan masyarakat adalah, bahwa dalam kasus hukum yang belaku adalah KUHP; Kasi Uang Habis Perkara dan atau Kurang Uang Hukum menjadi Panjang (KUHP).

Perspektif masyarakat atas ketidak adilan penegakan hukum di negeri ini terus bersemi. Penjelasan Susno Duaji yang viral tentang ketidak provesionalan Polisi dalam penanganan kasus Supriyani sebagaimana juga tampak eksplisit pada kasus Vina Cerebon semakin menyudutkan pihak penegak hukum. Dalam era medsos seperti sekarang ini, pandangan Susno tentang kasus Ibu Guru Supriyani dalam hitungan detik tersiar merata, dikonsumsi sekaligus mempengaruhi opini masyarakat dari seluruh segmen masyarakat. Sekalipun pandangan Susno boleh jadi sangat subyektif atau bahkan keliru, namun posisinya sebagai mantan Kabareskrim POLRI dan sikap oposannya selama ini, menjadikan opini Susno dalam kasus Supriyani oleh kebanyakan masyarakat dipandang “benar” sehingga layak dijadikan sandaran argument dan penguat atas dugaan ketimpangan penangan hukum kasus Ibu Guru Supriyani

Selain itu, opini miring masyarakat terhadap para penegak dan institusi penegakan hukum, terkesan mendapat legitimasi oleh kasus teranyar dalam dunia peradilan. Yaitu kasus jual beli hukum dengan pelaku Zarof mantan pejabat MA. Dalam kasus tersebut ditemukan uang hasil persengkokolan jahat Zarof dengan para calon pesakitan hukum yang nilainya fantastis 920 miliar plus 51 kg., emas. Kasus Zarof, semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa problem suap menyuap terhadap oknum penegak hukum bukan sekedar isu. Intinya fenomena main belakang dan atau tindak eksploitasi oknum penegak hukum terhadap calon pesakitan sebagaimana diduga dalam kasus Supriyani, ibarat fenomena gunung es. Cara-cara lihai nan licik melalui uang pelican yang diolah oleh oknum penegak hukum di negeri ini, tingkat keterungkapannya sangat sedikit, berbanding fakta dan kenyataan yang terjadi di lapangan.

Kembali kepada konteks kasus Supriyani, sejatinya kasus yang menggemparkan jagad maya dan mengundang komentar semua elemen masyarakat termasuk beberapa anggota DPR-RI dapat ditangani secara konprehensif, Salah satu pendekatan yang mungkin dapat ditempuh, yaitu dengan membentuk tim independent yang tidak hanya melibatkan, Kepolisian dan Kejaksaan tetapi juga melibatkan Komnas HAM. Apalagi kecorobohan penanganan kasus Supriyani tidak hanya dapat ditimpakan pada oknum aparat Polisi setempat tetapi juga pihak Kejaksaan Negeri Konsel. Semoga kasus Supriyani dapat menjadi pintu masuk bagi penegakan hukum yang berkeadilan di era kepemimpinan Presiden Prabowo.

Kendari, 29 Oktober 2024

Muhammad Alifuddin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *